Suatu hari di sebuah kampung hiduplah keluarga miskin. Sebut saja namanya Pak Udin. Beliau memiliki tiga anak remaja, perempuan-laki-laki, dan si bungsu juga laki-laki. Kemudian semua berubah setelah hasil panen bagus, melimpah ruah dan harga jual yang tinggi. Sehingga mereka dapat membeli rumah, rumah yang megah lengkap dengan kolam renang dan taman nan luas di belakang rumah. Kini hidupnya mewah dengan rumah baru yang berada di kota. Sebuah pintu gerbang besi dengan gagah berdiri menutupi hingga melebihi tinggi pohon mangga.
Satu hari keluarga mereka harus keluar kota karena ada urusan. Namun Si Sulung memilih tinggal di rumah karena sedang tidak enak badan. Ia merasa sedih akhir-akhir ini. Ia merasa sendiri, kesepian. Orang tua yang sering keluar kota karena bisnis yang baru dijalani, adik-adik yang lebih sering memilih keluar bersama teman-teman. Padahal sudah mempunyai rumah megah dan mewah. Gadis itu benar-benar merasa sendirian. Apalagi ditambah tidak satu pun pembantu rumah tangga yang mereka sewa. Semua dikerjakan sendiri. Bagi si sulung tak masalah selagi mampu. Karena orang tua mereka enggan menyewa pembantu demi menghemat pengeluaran. Jangan sampai kita miskin lagi. Kata ibunya pekan lalu.
Gadis itu hanya seorang diri di rumah megah tersebut. Di bawah tiang-tiang layaknya penyangga langit besarnya. Di tengah kebosanan di dalam rumah akhirnya ia keluar rumah. Hanya ingin mencari angin. Keluar dari gerbang rumah. Baru kali ini ia melakukannya. Keluar melewati gerbang rumah.
Tepat di depan rumah megah mereka terdapat jalan komplek nan halus tidak seperti jalanan di kampung yang becek dan penuh dengan lumpur. Betapa bahagianya si gadis melihat banyak anak-anak kecil sekitar umur 10 tahun berlarian kesana kemari. Kenapa aku baru melihat mereka hari ini? Ya karena ini kali pertama aku keluar rumah. Ia menahan tawa. Jumlah anak-anak itu mungkin ada 10 atau lebih. Subhanallah bahagianya si gadis merasa tidak sendiri lagi. Dia menyapa salah satu anak. Semua dari mereka mengenakan baju putih bersih dengan sarung dan peci nya. Mungkin sedang ada pengajian di komplek ini. Kata si gadis dalam hati.
“Rumah kakak gede banget kak?”, Tanya salah satu anak laki-laki bersarung tersebut.
“Alhamdulillah dek, kalian mau main ke dalam? Kakak punya banyak hewan peliharaan dan kolam renang loh di dalam”
Horee…begitu sorak sorai mereka. Si gadis membuka gerbang besi amat berat. Anak-anak kecil itu pun berjubel memasuki rumah nya. Betapa riuh rebut penuh dengan tawa di rumahnya kini.
Si gadis amat bahagia. Seperti inilah rumah sangat ia rindukan. Ramai penuh canda tawa. Yang kini tidak ia dapatkan dari keluarganya.
Setelah ia mencoba mengobrol dan menemani anak-anak itu bermain barulah ia sadari bahwa rumah mereka berdiri tepat di samping pondok pesantren. Subhanallah…jadi sayup sayup adzan dan suara teduh Al-Qur’an itu dari samping rumah. Namun tak pernah ia berani ia keluar rumah tanpa seizin orang tuanya.
“Kak, minta makan. Kami belum sarapan tadi”
Hatinya hancur berkeping-keping. Ya Allah selama ini padahal kulkas dan persediaan tidak pernah kosong, dan kita lebih sering makan di luar. Ternyata mereka kekurangannya seperti ini. Pakaian yang lusuh, ujung kain sarung yang sudah menjadi gulungan kecil saking lusuhnya. Mereka semua ternyata ada di samping rumahmu. Bathin si gadis. Astaghfirulloh…
“Dek, kalian boleh kok main kesini setiap hari. Kalo butuh apa-apa bilang aja sama kakak”, pinta sang gadis.
Sambil menikmati pemandangan tawa anak-anak lugu itu bermain air di kolam renang samping rumah, gadis itu tersenyum. Ternyata tiada berarti harta benda dan rumah sebesar ini tanpa kebahagiaan. Tanpa rasa mengasihi antar sesama. Bahkan jika ia lebih memilih, ia ingin kembali menjadi miskin namun selalu bersama keluarganya di rumah. Menonton berita TV 14 in penuh semut. Tanpa kejaran deadline bisnis. Itulah bahagia.
“Apa-apaan ini!!”
Sontak anak-anak pun terkaget. Ketikak Pak Udin berteriak demikian. Beliau pulang dari luar kota bersama sang ibu. Si gadis meminta maaf dan amat menyesal. Lalu anak-anak pondok itu diusir oleh Pak Udin padahal masih asyik bermain. Si gadis berusaha mencegah. Namun apa daya.
Setelah ituu si gadis dimarahi sehabis-habisnya oleh ayah ibunya. Tentang rumah yang kotor, rugi, dan gaduh suara anak kecil yang mereka benci Karena bisa mengganggu istirahat. Dan tidak level dengan keluarga Pak Udin. Si gadis menghabiskan waktunya di kamar dengan menangis. Lalu dia memutuskan untuk keluar dari rumah. Ya, dia pergi ke pondok pesantren samping rumahnya serta mengadu kepada Pak Yai yang mengasuh pondok tersebut. Kemudian diberi nasihat-nasihat baik. Namun si gadis tetap tidak mau kembali lagi ke rumah karena ingin bahagia di pondok dengan banyak teman.
Karena geram Pak Udin marah-marah pada pak yai karena ia berpendapat bahwa ia telah mempengaruhi putri nya. Dan putri nya pun keluar menemui ayahnya.
“Maaf kan aku ayah, aku tidak ingin kaya. Aku ingin kita menjadi miskin lagi, bahagia berkumpul dengan keluarga dan adek-adeki rumah jelek kita dulu. Karena itu satu-satu nya yang membuatku bahagia”.
Pak Udin tidak bisa menopong tubuhnya lagi, lututnya terjatuh di tanah dan menangis. Akhirnya, pondok pesantren itu diperluas sehingga rumah megah pak udin kini menjadi pondok pesantren. Keluarga pak udin kembali ke kampung. Ke rumahnya yang jelek terbuat dari bilik bambu dengan temaram lampu kecil. Namun sekarang penuh dengan kebahagiaan karena rasa syukur yang begitu besar kepada Allah SWT.
Rasululloah pernah berdoa “Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Dan ambil nyawaku dalam keadaan yang sama. Serta kumpulkanlah aku bersama orang-orang miskin”.
2 komentar
Qomariyah, Rabu, 2 Des 2020
Bagusssss
Nurul Azizah Rizkiyatuz Zaien, Jumat, 4 Des 2020
Matur nuwun masih belajar. mohon koreksi, kritik & saran